Pengantar
Selibat adalah sebuah bentuk panggilan hidup. Dalam konteks ini
selibat memiliki makna penyerahan hidup, pembaktian hidup yang murni dan
total kepada Tuhan demi Kerajaan Allah. Pembaktian hidup yang murni dan
total terwujud dalam hidup tidak menikah demi Kerajaan Allah. Hal
tersebut menegaskan pada makna kanon 599 yang berbunyi: “Nasihat Injili
kemurnian yang diterima demi Kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia
yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang
tak terbagi, membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat”.
Apakah selibat masih relevan di jaman ini? Dengan kata lain apakah
panggilan hidup membiara atau panggilan hidup menjadi imam di jaman ini
masih memiliki daya tarik bagi kaum muda? Apa makna selibat bagi orang
yang terpinggirkan yang merupakan opsi pilihan Gereja Katolik?
Selibat dan hidup yang dibaktikan
Merujuk pada kanon pembuka bagian III tentang Tarekat Hidup Bakti dan
Serikat Hidup Kerasulan dari KHK 1983, yakni kanon 573 § 1, yang
berbicara tentang apa itu tarekat hidup bakti (
La Vita Consecrata),
kita dapat menelusuri makna selibat dalam kaitannya dengan Hidup yang
dibaktikan. Kanon 573 § 1 menyatakan bahwa “hidup yang dibaktikan dengan
pengikraran nasihat-nasihat Injil adalah bentuk hidup yang tetap
dengannya orang beriman, yang atas dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus
secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling
dicintai…”. Dari pernyataan itu dapatlah ditarik makna selibat pada
umumnya merupakan pilihan hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah
(bdk. Mat. 19:12). Kata dibaktikan (
consecrare) mempunyai arti
luas bisa menguduskan, menakdiskan, menarik diri dari dunia dan secara
khusus diperuntukan bagi Allah (bdk. LG, 44; VC, 30). Tujuan dari hidup
selibat dalam kaitannya dengan pilihan hidup yang dibaktikan adalah
mengikuti Kristus secara lebih dekat (
pressius), semuanya itu
karena motivasi yang didorong oleh kuasa Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus,
kehidupan selibat tidak akan tercapai dengan sempurna. Selain itu tujuan
hidup selibat dalam konteks hidup yang dibaktikan adalah persembahan
diri secara total kepada Allah yang dicintainya. Jadi selibat adalah
sebuah karunia rahmat istimewa yang diberikan kepada seseorang yang
terpanggil mengikuti Kristus secara lebih dekat.
Selibat bentuk solidaritas
Nasihat Injil tentang kemurnian yang tidak lain adalah selibat
diterima demi kerajaan Allah, menjadi tanda dunia yang akan datang dan
merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi…(bdk.
kan. 599). Karunia rahmat istimewa yang diberikan kepada orang selibater
secara istimewa pula membebaskan hati manusia (bdk. 1 Kor 7:32-35),
supaya hatinya berkobar mencintai Allah dan semua orang. Maka pilihan
hidup yang demikian itu merupakan tanda yang amat khas, harta surgawi
bagi kaum selibater yang membaktikan hidupnya bagi Allah dan kerasulan
Gereja (bdk. PC, 12). Kebebasan hati tidak terikat oleh siapapun dan
apapun karena hidupnya diserahbaktikan kepada Allah menjadi bentuk
solidaritas bagi mereka yang bernasib kurang beruntung. Tanda
solidaritas dari orang selibater itu nyata dalam sikap lepas bebas pada
hal-hal duniawi dan melulu perhatian hidupnya bagi Allah dan sesama. Di
bumi Indonesia ini banyak orang yang terpinggirkan, baik oleh karena
hidupnya yang kurang beruntung maupun secara struktural terpinggirkan
oleh kekuasaan. Mereka adalah kaum anawim seperti keluarga kudus di
Nazareth: Maria, Yusuf dan Yesus sendiri. Hidup keluarga kudus di
Nazareth selalu di bawah bayang-bayang tekanan penguasa sehingga
berkali-kali harus mengungsi dan terpinggirkan. Mereka yang tergolong
orang terpinggirkan adalah orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum
buruh dengan gaji rendah dan lainnya. Mereka terpinggirkan karena
tekanan ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan hidup keagamaan.
Relevansinya di zaman sekarang
Tentang hidup selibat, tantangan pertama datang dari kebudayaan
hedonisme yang meceraikan seksualitas dari norma moral obyektif, yang
menempatkan seksualitas sebagai kesenangan atau kenikmatan semata-mata
tanpa melihat aspek rohaninya. Hidup selibat di jaman sekarang justru
memiliki sifat profetis bagi kebudayaan hedonisme. Hidup selibat
menyajikan kepada masyarakat zaman sekarang bahwa teladan hidup murni
demi kerajaan Allah itu menampakan: (1) keseimbangan dan penguasaan
diri, (2) bentuk solidaritas bagi orang yang terpinggirkan, (3)
kematangan psikologis dan afektif. Maka di zaman sekarang hidup selibat
menjadi kesaksian tunggal kehadiran Allah di dunia yang dibelenggu oleh
kenikmatan seksual (bdk. PC, 12; VC, 88). Oleh karena itu, kehidupan
selibat (kemurnian) yang diperuntukan bagi Allah tetap relevan dan
memiliki daya tarik bagi kaum muda yang mendambakan kebebasan hati untuk
mengabdi kepada Allah dan sesama manusia secara total dan utuh.
Penutup
Di dunia sekarang yang sering menimbulkan kesan bahwa orang sudah
tidak melihat lagi tanda-tanda kehadiran Allah lagi, kesaksian hidup
selibat semakin diperlukan untuk menegaskan Allah hidup di tengah-tengah
umatnya terutama mereka yang mendambakan pembebasan hati, terlebih
mereka yang terpinggirkan. Dengan hidup selibat, mereka menjadi tanda
hidup masa depan langit baru dan bumi yang baru (bdk. Wahyu 21:1). Hidup
selibat yang dijiwai oleh semangat lepas bebas dari ikatan dan
pembaktian hidup secara murni kepada Allah menjadi dorongan yang
berharga bagi kaum selibater untuk selalu solider dengan orang yang
terpinggirkan yakni kaum miskin dan tertindas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar